Selasa, 18 Oktober 2016

Geger Jembatan Merah

Jembatan Merah Jatibarang
Dahulu kala tepatnya di desa Jatibarang ada perang antara antek-antek orang Belanda dari Jawa Tengah dengan masyarakat pribumi asli Indramayu, biasanya terjadinya perang itu iatu akibat masyarakat Indramayu menuntut upah kerja ke orang Belanda. Akan tetapi seharusnya orang Belanda memberi upah pada pekerja, orang Belanda memukuli para pekerja yang meminta upah. Yang akhirnya para pekerja bergabung jadi satu untuk mengadakan perlawanan pada orang Belanda.

Tetapi orang Indramayu kewalahan menghadapi antek-amtek orang Belanda. Yang akhirnya orang Indramayu berfikir “Biasanya adanya pembangunan Jembatan Merah penghubung antara desa Jatibarang dan desa Widasari yang dipimpin orang Belanda, pasti ada persetujuan dari bupati Indramayu.”

Semua masyarakat Indramayu yang dipimpin Ki Totoran dan Kadrawai berngkat ke pendopo Indramayu untuk meminta pertanggung jawabannya bupati. Tetapi sesampainya di pendopo tidak ada bupati. Masyarakat  pun menyebar mencari dimana keberadaan bupati Jalari. Ternyata bupati Jalari ada di pinggiran sungai Cimanuk tepatnya di bawah Jembatan Merah Jatibarang Widasari. Biasanya bupati Jalari ada di pinggiran sungai sedang meneliti benar tidaknya di Jatibarang ada pembangunan jembatan. Pembangunan jembatan ini dipimpin orang Belanda, dimandori Tali Wongso, yang jadi pemborongnya yaitu Ki Wirya.

Dengan bersedih hati bupati Jalari di hatinya berucap, ucapnya yaitu” Masya Allah, begitu bau anyir sekali ini bau sungai Cimanuk, memang benar katanya kabar yang sudah menyebar, katanya berita yang sudah nyata, kalo ada pembangunan jembatan ini, banyak orang Indramayu yang jadi korban di pembangunan ini. Saya berdosa dengan rakyat Indramayu. Percuma rasanya menjadi bupati di Indramayu kalo saya tidak bisa memberi perlindungan ke rakyatku sendiri.”
Tiba-tiba muncul arwah gentayangan di hadapan bupati Jalari. Arwah itu minta tolong ke bupati Jalari, “Kanjeng tolong Kanjeng, sampe hati anda tidk kasihan padaku.”

“Aku benar-benar kasihan pada arwah dan semua rakyat Indramayu. Memang siapakah dirimu sebenarnya?” Tanya bupati Jalari.

“Saya tumbal Jembatan Merah, Kanjeng. Nama saya Karsiman dari Jatisawit. Saya mati sia-sia Kanjeng. Tiba-tiba tidak punya salah dan tidak berdosa, didorong oleh mandor Tali Wongso, Kanjeng.”

“Masya Allah, begitu tega mandor Tali Wongso. Terus apa maksukdnya kamu muncul di hadapanku?” Tanya Bupati Jalari.

“Saya ingin minta tolong Kanjeng, tolong sempurnakan kematianya saya dengan taburan bunga setaman, dan tolong sampaikan ke keluarga saya yang di Jatisawit kalo saya itu sudah meninggal Kanjeng.”

“Berarti keluarganya Karsiman itu belum tahu kalo Karsiman sudah meninggal. Ya sudah jangan khawatir, nti saya akan laksanakan keinginanmu”. Sekejap mata hilang arwah tadi dari hadapan bupati Jalari.

Di atas Jembatan Merah Jatibarang Widasari yang belum jadi ada seorang anak perempuan berambut panjang berpakaian putih. Dengan hati penasaran Bupati Jalari akhirnya bicara dengan  anak perempuan tadi. “Anak siapa malam-malam berdiri di atas Jembatan Merah.

Kemana orang tuanya, anak kok diumbar. Nak.. Nak... Turun! Jangan di atas jembatan. Barangkali jadi korbanya Jembatan Merah loh!”
Tapi anak perermpuan tadi tidak menghiraukan omongan bupati Jalari. Malah anak perempuan tadi nangis kesakitan.“Kenapa menangis nak? Turun! Sini bicara sama saya.” Tanya bupati Jalari.

Anak perempuan tadi bicara dengan menangis, “Kanjeng Bupati tega pada saya.”

Dengan penuh pertanyaan bupati jalari bertanya pada anak itu “ Bukan, sebenarnya siapa dirimu nak?”

Anak perempuan tadi menjawab dengan tangis yang  begitu dalam “Saya Ronggeng Melati, Kanjeng.”

Bupati Jalari kaget begitu mendengar namanya, “Ronggeng anaknya Ki Karang Getas nak?”

“Iya, saya ronggeng anaknya Ki Karang Getas, Kanjeng.”

“Ronggeng, Ronggeng Melatiiii, maafkan saya Jalari. Waktu itu saya tidak bisa menyelamatkan dirimu.”

“Percuma Kanjeng, sudah jangan disesali yang sudah terjadi. Kini saya sudah jadi korbanya Jembatan Merah, Kanjeng. Saya temui anda saya  ingin menitipkan pesan pada anda, terutama saya titip buat orang tua Melati, jangan sampai jadi korbanya Jembatan Merah lagi. Anda sebagai pemimpin harus yang bijak. Cukup saya yang jadi korban yang terakhir di Jembatan Merah, Kanjeng. Dan ketahuilah, arwah saya tidak bakal sempurna sebelum saya bisa tuntut balas sama orang-orang yang sudah menceburkan saya.”

“Cukup Melati, jangan tamabah-tambah korban.”

“Tidak Kanjeng, pokoknya saya balas dendam Kanjeng, balas dendam Kanjeng.”

Arwah melati pun menghilang meninggalkan bupati Jalari. Bupati pun meratap sedih, tiba-tiba muncul rakyat Dermayu dan memukuli bupati Jalari. Tapi untunglah dipisah sama Ki Totoran, karena Ki Totoran khawatir barangkali sampai terjadi kematian. Apalagi di demo ini ada Ki Kadrawi yang terkenal di Kebulen sebagai raja tega. Orang yang suka menyembelih orang.

Sesudah Ki Totoran melerai masyarakat. Ki Totoran langsung minta pertanggung jawaban ke bupati. Tuntutan yang diminta rakyat Indramayu yaitu :

1.       Jangan suka adu domba rakyat, sampai rakyat Indramayu pada perang kadang teman dengan teman, akibat ulah bupati.

2.       Kalo sudah tidak bisa ngurus rakyat, copot jabatan bupati di Indramayu.

Padahal 2 perkara tuntutan rakyat, bupati Jalari tidak tahu apa-apa. Pembangunan Jembatan Merah sudah 5 tahun. Seadangkan Jalari baru menjabat bupati Indramayu baru 1½ tahun. Tapi rakyat Indramayu menyangka bupati Jalari lah yang menandatangani pembangunan Jembatan Merah. Padahal yang sebenarnya yang menandatangani yaitu bupati yang dulu, yaitu bupati Wira Semangun dengan keturunannya yang bernama Krestal.

Bupati Jalari jelaskan ke rakyat Indramayu. Isi penjelasannya yaitu “Sebagus-bagusnya masalah, lebih bagus dipecahkan secara musyawarah. Bisanya saya ada di pinggiran sungai Cimanuk jatibarang itu ada pembangunan. Kalo kalian semua pingin tahu pada hal ini, saya ini tidak tahu. Karena saya tidak merasa menandatangani di pembangunan ini. Kalau anda pengen jelas, begini ceritanya.

Dahulu waktu Indramayu dipimpin oleh bupati Wirasemangun, datang pedagang dari Cina, dari Belanda. Pada numpang jualan di Indramayu. Kemudian lengsernya bupati Wirasemangun diganti anaknya yang bernama bupati Krestal.

Tapi adanya orang Cina dan Belanda numpang dagang di Indramayu, para Bagusan dari desa Jatitujuh merasa resah adanya orang Cina dan Belanda berdagang. Karena adanya orang Cina dan Belanda merusak budaya Islam di tataran Jawa. Bisanya merusak yaitu, dulu anak-anak kecil kalau waktu maghrib pada berangkat ke masjid, akibat adanya orang Belanda yang mabuk-mabukan akhirnya anak-anak dan masyarakat pada ikutan budayanya orang Belanda.

Tidak setujunya para Bagusan dari Jatitujuh kemudian Indramayu diserang Jatitujuh. Karena resahnya bupati Krestal meminta bantuan pada orang Belanda yang sedang membuat jalan di Balongan sampe menuju Batavia supaya mengusir orang Jatitujuh. Tetapi kata orang Belanda, mau mengusir orang Jatitujuh tapi minta bayaran.

Orang Jatitujuh mundur karena orang Jatitujuh bersenjatakan cuma golok dan keris sedangkan orang Belanda bersenjatakan pistol.
Sesudah orang Belanda mengusir orang Indramayu kemudian menagih ke bupati Krestal. Kata bupati Krestal “Berapa sih bayaranya?”

Orang Belanda meminta bayarannya yaitu sawelas kangarta tigangdoso (11130 pondsterling).

“Kalau dicairkan dengan uang sini, berapa Tuan?” Tanya bupati Krestal.

“Kalo dicairkan dengan uang sini, tanah Indramayu itu tidak terbeli. Ya sudah kalo tidak sanggup bayar, tandatangani saja pembangunan jembatan penghubung Jatibarang Widasari.” Kata orang Belanda.

“Begitulah ceritanya, jadi yang menandatangani pembangunan jembataan itu bukan saya tapi bupati Krestal.” Cerita bupati Jalari.

Sumber : Komunitas Seniman, Sutradara Seniman, Cerita Kebudayaan Indramayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar